Sabtu, 21 November 2015

Melihat Sejarah Reformasi Agraria di Indonesia

Lampung Reforma Agraria - Melihat Sejarah Reformasi Agraria di Indonesia : Di masa kolonial, sengketa lahan terjadi akibat adanya UU Agraria Kolonial Belanda tahun 1870. Masalah ini berkisar pada mulai munculnya perkebunan-perkebunan besar yang kemudian mulai menggusur lahan pertanian milik warga. Demikian pula di masa pendudukan Jepang, lahan-lahan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial kemudian dikuasai oleh Jepang untuk menanam tanaman-tanaman yang digunakan untuk kebutuhan perang. Rakyatlah yang menjadi korban, karena merekalah yang dipaksa untuk melakukan pekerjaan tersebut. Pasca kemerdekaan, mulai diatur undang-undang mengenai kepemilikan lahan. Pemerintah mengeluarkan UU No. 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria sebagai landasan utama dalam melakukan reformasi agraria.


Dalam konteks Indonesia, reformasi agraria menjadi suatu hal yang urgen bila meninjau jumlah buruh tani dan petani gurem yang terus bertambah sebagai akibat dari konflik agraria yang juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di Indonesia, terdapat lebih dari 80 persen petani gurem atau petani yang berlahan kurang dari 1 hektar. Lebih dari 50 persen jumlah petani berlahan sempit ini menguasai hanya 21 persen dari keseluruhan lahan pertanian (Husken dan White, 1989). Struktur agraria semacam ini merupakan warisan dari politik agraria kolonial yang masih lestari hingga kini.

Demi mengakhiri struktur penguasaan tanah yang timpang warisan kolonial, pemerintahan Soekarno mengeluarkan kebijakan reformasi agraria yang termaktub dalam UU Pokok Agraria (UU PA) No.5 tahun 1960.  UU PA No.5/1960 diberlakukan  untuk melikuidasi undang-undang agraria produk penjajahan Belanda (“Agrarische Wet”  dalam Staatsblad 1870 No. 55). Hingga kini, UU ini adalah produk hukum perundang-undangan yang paling berpihak pada kaum tani miskin, karena UU tersebut mereformasi ketimpangan penguasaan tanah menuju kearah kemakmuran yang berkeadilan.

Salah satu contoh pasal yang berpihak pada kepentingan kaum tani miskin dalam undang-undang tersebut ialah pasal 13 yang berisi empat  ayat dan berbunyi sebagai berikut :
  1. Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
  2. Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agrarian dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
  3. Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
  4. Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha dilapangan agraria.
Empat ayat dalam pasal ini jelas sekali merefleksikan karakter sosialisme Indonesia dari  reformasi agraria yang hendak dijalankan pemerintahan Soekarno. Orientasi pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran rakyat serta pelarangan bagi pihak kapitalis swasta untuk memonopoli sistem produksi pertanian, hampir sama dengan reformasi agraria yang berlangsung di negara-negara sosialis semacam Kuba dan Venezuela.

Namun implementasi UU ini terkendala berbagai hal. Salah satunya adalah gangguan politik dari kelompok politik kanan-reaksioner yang menentang kebijakan agraria pemerintahan Soekarno. Kelompok-kelompok yang menentang reformasi agraria tersebut adalah militer (TNI-AD), sisa-sisa kelas feodal, kelompok Islam serta sos-dem (PSI). Klimaks dari semua kontradiksi politik itu ialah kudeta militer secara ‘merangkak’ pada tahun 1965 yang menjatuhkan Soekarno dan menumpas semua elemen politik progresif (PKI&PNI Kiri). Seluruh upaya reformasi agraria oleh pemerintahan Soekarno digagalkan oleh kontra-revolusi tersebut, yang akhirnya membawa Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan. Soeharto pun mengeluarkan serangkaian kebijakan yang menegasikan politik agraria rezim sebelumnya, diantaranya UU Pokok Pertambangan No.11 tahun 1967 dan UU Penanaman Modal Asing No.1 tahun 1967, dimana seluruh regulasi itu berpihak pada kepentingan modal asing, bukan kaum tani.

Secercah harapan muncul setelah runtuhnya pemerintahan Soeharto. Pada era reformasi, tepatnya tanggal 9 November 2001,dikeluarkanlah TAP MPR No.IX/2001 oleh MPR RI yang menugaskan pemerintah Indonesia untuk melaksanakan pembaruan agraria dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 TAP MPR No.IX/2001). Tetapi penetrasi dari kekuatan-kekuatan neo-liberal yang begitu kuat menyebabkan amanat itu tidak pernah terlaksana. Alih-alih melaksanakan reformasi agraria, pemerintah dan parlemen justru memproduksi berbagai undang-undang yang melegalisasi ‘perampokan’ tanah petani oleh kaum pemodal nasional maupun asing.

Undang-un­dang No. 41/1999 tentang Kehu­tanan, Undang-undang No. 18/2003 tentang Perkebunan, Un­dang-undang No. 7/2004 Sumber Daya Air, Undang-undang No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,  Undang-undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu­bara serta yang terakhir Undang-undang Pengadaan Tanah 2011 adalah sebagian produk perundang-undangan yang diterbitkan guna memperlancar ekpansi pemilik modal untuk menguasai sektor agraria negeri ini. Produksi berbagai aturan perundang-undangan ini turut berkontribusi pada peningkatan represifitas aparat negara terhadap kaum tani seperti yang terjadi di Bima.

Politik agraria yang dijalankan pemerintahan reformasi dengan haluan kapitalisme liberal  jelas bertentangan dengan semangat UU PA No.5/1960 yang berlandaskan sosialisme Indonesia. Maka, gerakan kembali pada UU PA No.5//1960 mutlak perlu dilakukan oleh seluruh elemen pergerakan nasionalis-kerakyatan. Selain untuk melawan politik agraria penguasa, gerakan kembali pada  UU PA No.5/1960  juga merupakan suatu penegasan bahwasanya UU PA 5/1960 adalah produk hukum yang esensinya sesuai dengan hakekat dan tujuan sebenarnya dari pelaksanaan reformasi agraria, yakni peningkatan kesejahteraan petani miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar