Sabtu, 21 November 2015

Peranan Pemerintah dalam Konflik Agraria di Mesuji

Masalah agraria menjadi salah satu isu penting yang diperbincangkan saat ini. Mengingat makin banyaknya kasus-kasus konflik yang menyangkut agraria, sebut saja konflik Mesuji di Lampung maupun konflik Bima Nusa Tenggara Barat. Kedua kasus tersebut merupakan contoh sebagian kecil dari kasus konflik yang menyangkut masalah agraria di daerah yang jarang kita ketahui. Namun, konflik agraria sejatinya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak lama bahkan semenjak masa kolonial, perebutan lahan telah terjadi antara petani dengan pemerintah maupun petani dengan kelompok pengusaha.

Di masa kolonial, sengketa lahan terjadi akibat adanya UU Agraria Kolonial Belanda tahun 1870. Masalah ini berkisar pada mulai munculnya perkebunan-perkebunan besar yang kemudian mulai menggusur lahan pertanian milik warga. Demikian pula di masa pendudukan Jepang, lahan-lahan yang ditinggalkan oleh pemerintah kolonial kemudian dikuasai oleh Jepang untuk menanam tanaman-tanaman yang digunakan untuk kebutuhan perang. Rakyatlah yang menjadi korban, karena merekalah yang dipaksa untuk melakukan pekerjaan tersebut. Pasca kemerdekaan, mulai diatur undang-undang mengenai kepemilikan lahan. Pemerintah mengeluarkan UU No. 5 tahun 1960 tentang pokok-pokok Agraria sebagai landasan utama dalam melakukan reformasi agraria.

Usaha untuk melakukan reformasi agraria nyatanya mengalami halangan yang cukup besar, khususnya di masa pemerintahan Orde Baru. Adanya UU penanaman modal asing menjadi tanda bahwa kapitalisme mulai masuk ke Indonesia. Tentunya hal tersebut akan berimplikasi kepada mulai dibangunnya pabrik-pabrik dan menggusur lahan pertanian milik warga. Konflik lahan pada akhirnya tidak bisa terhindarkan. Ada dua bentuk konflik agraria yang umumnya terjadi. Pertama, konflik antara petani dan swasta, terutama karena keluarnya HGU di atas tanah yang selama ini turun temurun dikuasai oleh warga sekitar. Kedua, konflik antara petani dengan pemerintah terkait dengan pembebasan lahan di atas tanah yang telah dikuasai petani dan akan digunakan untuk pembangunan berbagai fasilitas umum. Walaupun konflik agraria semakin memanas di masa orde baru, perlawanan yang dilakukan oleh petani mengalami pasang surut. Hal tersebut dikarenakan tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta melalui polisi dan TNI membuat petani berpikir ulang untuk melakukan perlawan, supaya tidak timbul jatuhnya korban jiwa yang lebih besar.

Pasca reformasi, konflik agraria bahkan semakin masif terjadi. Hal ini muncul karena ada reclaiming petani terhadap tanah-tanah yang dikuasai oleh swasta. Petani menuntut haknya yang selama ini telah diambil oleh swasta maupun pemerintah. Keadaan tersebut sama seperti apa yang terjadi di Mesuji, Lampung tepatnya di daerah yang bernama register 45. Konflik antara petani dengan swasta yaitu PT Silva Inhutani memperebutkan lahan seluas 43.000 hektare di kawasan register 45. Bahkan sempat terjadi kericuhan yang menyebabkan beberapa korban meninggal dari kalangan warga masyarakat. Apakah sebenarnya penyebab dari konflik agraria di Mesuji? Lalu bagaimana peran pemerintah dalam menyelesaikan kasus tersebut?

Kerangka Teori

Konflik secara umum didefinisikan sebagai suatu pertentangan atau perbedaan pendapat antara dua orang atau lebih. Konflik selalu ada di setiap hubungan sosial, karena masyarakat satu sama lain pada dasarnya mempunyai perbedaan. Perbedaaan ini kemudian menjadikan potensi-potensi konflik di dalam setiap hubungan sosial. Menurut Ted Robert Gurr, terdapat paling tidak empat ciri konflik yaitu: (1) ada dua pihak yang terlibat, (2) merek terlibat dalam tindakan-tindakan yang saling memusuhi, (3) mereka menggunakan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan, melukai, dan menghalangi lawannya, dan (4) interaksi yang bertentangan ini bersifat terbuka sehingga bisa dideteksi dengan mudah oleh pengamat yang independen.

Sementara konflik politik merupakan salah satu bagian dari koflik sosial. Apa yang membedakan antara konflik sosial dengan konflik politik? pertama adalah sifat dari konflik politik yang selalu merupakan konflik kelompok. Konflik tidak didasari atas perbedaan pendapat antar individu, melainkan telah menyangkut masalah kelompok di mana kedua pihak mempertentangkan isu publik yang menyangkut kepentingan banyak orang. Kedua, kata politik mengacu pada segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan kedudukan oleh pejabat pemerintah. Kedudukan pejabat pemerintah ini mengacu pada kekuasaan yang mereka miliki untuk mengatur masyarakat dalam lingkup negara. Mereka juga mempunyai kuasa atas pembuatan kebijakan yang mengikat kepada semua masyarakat.

Dalam melihat konteks konflik agraria, penulis melihat ada beberapa teori konflik yang relevan untuk menganalisis hal tersebut. Penulis mengambil konsepsi teori konflik kelas yang dikemukakan oleh Karl Marx. Marx mengungkapkan dasar dari timbulnya konflik adalah faktor ekonomi. Atas dasar tersebut maka pihak-pihak yang berkonflik dapat diklasifikasikan menjadi dua kelas (kelompok), kelas borjuis/kapitalis dan kelas proletar/petani. Kedua kelas ini dibedakan atas dasar dari kepemilikan alat-alat produksi. Kelas borjuis mempunyai kuasa atas modal dan alat-alat produksi sedangkan kelas proletar tidak memilikinya. Hal tersebut menimbulkan kesenjangan yang sangat timpang antara kelas borjuis dengan kelas petani/proletar. Kelas proletar selalu menjadi pihak yang tertindas karena kekuasaan kelas borjuis yang sangat besar khususnya dalam bidang ekonomi. Perbedaan kelas inilah merupakan faktor kunci dari konflik kelas yang dikemukakan oleh Marx.

Konflik kelas dari Marx digambarkan sebagai perjuangan kelas (class struggle) dari kelas proletar untuk melawan penindasan dari kelas borjuis. Akhir dari konflik ini menurut Marx adalah munculnya revolusi kelas yang menurut ramalannya dimenangkan oleh kelas proletar. Konflik kelas ini menurut saya cocok untuk menjelaskan masalah konflik agraria di Mesuji. Hal ini dikarenakan pihak-pihak yang berkonflik adalah antara kelompok pengusaha (PT Silva Inhutani dan PT BSMI) dengan pihak petani/kaum proletar. Dalam penjelasan berikutnya, penulis akan menjelaskan apa saja faktor-faktor penyebab konflik tersebut dan juga bagaimana peran pemerintah di dalamnya.

Kronologis Konflik Agraria di Mesuji

Sengketa lahan di Mesuji bermula di tahun 1990an memperebutkan lahan seluas 43.000 hektare di kawasan Register 45 di wilayah Kabupaten Mesuji, Lampung. Kawasan ini sejatinya dikelola oleh PT Inhutani V, kemudian bergabung dengan PT Silva anak usaha dari Sungai Budi Group sehingga berubah nama menjadi PT Silva Inhutani. Pada tahun 1997, sejumlah warga yang mendiami kawasan tersebut mulai menebangi tanaman yang ditinggal oleh PT Inhutani untuk membuka lahan. Pada saat itu jumlah warga masih sedikit dan mulai berkembang di tahun 1999 dengan banyaknya warga pendatang yang datang dari berbagai daerah seperti Lampung Timur, Metro, Tulangbawang bahkan dari Pulau Jawa. Warga kemudian membuat kapling-kapling dan dibagi ke sesama. Lahan tersebut digunakan untuk menanam singkong sebagai mata pencaharian mereka.

Makin lama kawasan ini kemudian semakin merambah daerah sekitarnya, hingga mereka mendirikan desa sendiri bernama Desa Moro-moro yang terdiri dari Kampung Moro Seneng, Moro Dewe, dan Moro-moro. Mereka mendirikan rumah-rumah, ladang singkong, bahkan sekolah dan tempat ibadah. Kawasan ini kemudian semakin berkembang hingga tahun 2003 banyak warga mulai membuka lahan kembali di wilayah Alpha 8 dan membuat perkampungan yang bernama Pelita Jaya. Warga di kawasan ini kemudian dikoordinasi oleh sebuah organisasi yang bernama Pekat Raya. Warga yang ingin tinggal di kawasan tersebut diharuskan membayar 3 hingga 15 juta per-kapling sesuai luas dan lokasi lahan tersebut.

Keberadaan para perambah yang semakin membesar ini membuat Pemerintah Lampung geram. Pemda Lampung kemudian membentuk Tim Gabungan Perlindungan Hutan yang beranggotakan Polisi, TNI, Jaksa, Pemerintah, Satuan Pengamanan Perusahaan dan Pengamanan swakarsa. Tim ini kemudian mulai melakukan penggusuran terhadap warga di kawasan register 45 tersebut di bulan September 2010. Dalam aksi penggusuran tersebut setidaknya menyebabkan salah seorang warga bernama Made Asta tewas tertembak peluru aparat kepolisian, dan satu lagi warga terluka terkena tembakan di kakinya. Bentrokan ini terus terjadi seiring dengan penggusuran yang dilakukan oleh Tim Gabungan sampai warga yang kesal memblokir jalan Lintas Sumatra sebagai simbol perlawanan mereka.

Seperti yang kita ketahui berita mengenai konflik di Mesuji banyak terjadi kesimpang-siuran. Beberapa waktu yang lalu terdapat video pembantaian yang dilakukan oleh petugas Perusahaan PT Silva Inhutani terhadap petani Mesuji. Hal ini sempat membuat heboh karena video ini ada di situs jejaring sosial seperti Youtube. Pada bulan Desember 2011, petani warga Pelita Jaya melaporkan kejadian pembantaian ini kepada DPR RI. Selain itu, masalah konflik ini tidak hanya meliputi perusahaan dengan para petani perambah, hal ini juga menyangkut dengan klaim tanah ulayat di Register 45 Mesuji Lampung. Lembaga adat yang bernama Megou Pak di Lampung memahami bahwa tanah ulayat/tanah adat sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Sehingga mereka mengklaim bahwa merekalah yang berhak menguasai tanah tersebut karena tanah itu adalah warisan nenek moyang mereka. Namun pemerintah kemudian memberikan hak penguasaan tanah tersebut kepada PT tanpa sepengetahuan mereka, hal inilah yang memicu konflik antara warga dengan perusahaan.

Sementara itu, di titik konflik agraria lainnya terjadi di wilayah Kagungan Dalam, Tanjung Raya terdapat perselisihan antara masyarakat dengan perusahaan bernama PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI). Puncak dari pertikaian ini adalah pada tanggal 10 November 2011 terjadi penembakan oleh aparat dan mengakibatkan salah satu warga bernama Zaelani tewas tertembak. Selain itu, terdapat korban luka-luka yaitu berjumlah 7 orang akibat penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Faktor-faktor Penyebab Konflik Agraria di Mesuji

Kedua kasus konflik agraria di Mesuji mempunyai pola yang sama, konflik terjadi antara petani/warga sekitar, pengusaha, dan pemerintah. Dari berbagai sumber yang penulis dapat setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan konflik tersebut.

1. Kebijakan Pertanahan yang Bersifat Kapitalistik

Konflik agraria memang tidak dapat terlepas dari kebijakan pertanahan semasa Orde baru. Pengambilan lahan-lahan milik warga yang kemudian diberikan kepada investor untuk membangun pabrik-pabrik merupakan salah satu ciri khas kebijakan pertanahan pada masa Orba. Pemerintah saat itu banyak mengeluarkan HGU diatas tanah yang dikuasai rakyat untuk kepentingan ekonomi. Melihat keadaan tersebut, petani sebenarnya telah melakukan perlawanan bahkan sampai ke ranah pengadilan, namun hal ini selalu kandas ditengah jalan karena pemerintah yang tidak berpihak pada petani. Pada akhirnya selama bertahun-tahun petani menjadi kalangan yang tersubordinasi dari pemerintah maupun pengusaha.

Ketika memasuki masa reformasi, perjuangan petani untuk mengklaim kembali tanahnya mendapatkan titik terang. Jatuhnya sistem otoriter kemudian berganti menjadi lebih demokratis memberikan harapan bagi petani untuk menuntut kembali haknya. Namun, hal tersebut masih memiliki banyak hambatan. Pemerintah saat ini masih cenderung memihak pada kepentingan modal. Rakyat kecil umumnya dinomorduakan oleh pemerintah jika menyangkut masalah sengketa lahan tersebut. Sebagai contoh dalam kasus PT BSMI dengan warga Kagungan Dalam, Mesuji Lampung. Hal ini bermula sejak tahun 1994, PT BSMI mengajukan izin untuk mendirikan usaha di wilayah tersebut. Kemudian mereka mendapatkan izin lokasi seluas 10.000 Ha kebun inti dan 7.000 Ha kebun plasma dari Bupati Lampung Utara Nomor: PLU. 22/460-L/94. Untuk keperluan tersebut, PT BSMI diminta untuk mengganti rugi tanah warga dengan harga Rp. 150.000 per-hektar.

Konflik kemudian mulai terjadi setidaknya ada dua penyebabnya, pertama masyarakat pemilik tanah tidak dilibatkan secara langsung dalam musyawarah penentuan nilai harga tanah yang akan dibebaskan. Kedua, masyarakat tidak dilibatkan secara langsung dalam pengukuran tanah. Hal tersebut menimbulkan kerancuan dalam klaim tanah yang telah diberikan kepada PT BSMI. Sebenarnya masyarakat yang merasa tidak puas telah mengadukan ke Komnas HAM, namun belum ada tindak lebih lanjut untuk menangani kasus tersebut. Di situasi yang masih panas oleh konflik tersebut, BPN (Badan Pertanahan Negara) memberikan HGU kepada PT BSMI atas lahan seluas 9.513.0454 Ha melalui surat keputusan No. 43/HGU/BPN/97.

Berbagai upaya petani untuk menuntut haknya tidak kunjung menemui hasil. Hingga pada tahun 2007, Pemda telah melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan konflik tersebut, salah satunya dengan mempertemukan kedua belah pihak hingga memberi peringatan kepada PT BSMI untuk melakukan pengukuran ulang terhadap lahan tersebut. Namun usaha tersebut tidak menemui hasil, dan pihak PT BSMI tidak mau menggubris peringatan tersebut.

2. Pluralisme Hukum

Faktor kedua adalah Hukum di Indonesia yang bersifat plural. Seperti yang telah kita ketahui, Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, bahasa, dan adat. Tidak terkecuali Hukum Adat yang dimiliki oleh masing-masing daerah/suku. Dalam masalah agraria, kita mengenal apa yang disebut sebagai tanah ulayat/tanah adat. Tanah adat ini diklaim oleh masyarakat sebagai tanah yang telah diwariskan selama bertahun-tahun oleh nenek moyang mereka. Hal tersebut telah ada di dalam hukum adat masyarakat daerah masing-masing yang mendiami daerah tersebut.

Kaitannya dengan masalah agraria, Indonesia telah memiliki UU mengenai Pokok Agaria (UUPA) yaitu UU No. 5 tahun 1960. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa sumber daya di bumi, air, dan sumber daya alam lainnya dikuasai oleh pemerintah. Sehingga pemerintah mempunyai otoritas untuk memberikan lahan tersebut baik untuk individu maupun untuk korporasi. Dalam UU ini juga mencakup pengaturan mengenai kepemilikan hak tanah berdasar hukum adat, seperti yang dijelaskan pada pasal 5 UU No. 5 tahun 1960. Namun dalam perkembangannya hukum ini seperti diabaikan, bahkan kemudian diamandemen demi kepentingan-kepentingan tertentu.

Pada masa Orde Baru, hukum mengenai agraria sering disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, khususnya untuk kepentingan modal/pengusaha. Dengan otoritas Negara dalam penguasaan tanah, pemerintah kemudian mulai mengambil lahan-lahan warga yang sebelumnya telah diklaim warga setempat dalam hukum adat masyarakat tersebut. Menurut Ari Sujito, ada dua modus yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengkooptasi lahan/tanah adat milik warga. Pertama, Pemerintah secara diam-diam mensertifikatkan tanah-tanah yang dinilai tidak jelas kepemilikannya padahal tanah tersebut adalah tanah ulayat milik warga setempat. Dengan adanya sertifikat maka Pemerintah berhak mengklaim tanah tersebut sesuai dengan hukum legal-formal yang ada pada sertifikat tersebut. Kedua, Pemerintah memaksa rakyat untuk menjual tanah tersebut dengan harga murah disertai dengan intimidasi dan ancaman. Keadaan tersebut membuat warga mau tidak mau merelakan lahan mereka yang telah diambil oleh Negara demi kepentingan-kepentingan tertentu.
Pasca reformasi, petani mulai mengklaim kembali tanah-tanah adat yang dulu sempat diambil oleh Pemerintah untuk keperluan Pengusaha. Namun hal tersebut terkendala oleh masalah hukum yang bersidat legal formal, karena Pengusaha telah mempunyai sertifikat maupun HGU sebagai landasan hukum kepemilikan tanah mereka. Sementara petani dan warga sekitar hanya mengklaim berdasarkan Hukum adat yang mempunyai legitimasi yang lemah. Inilah yang kemudian menimbulkan konflik atas klaim lahan antara Pengusaha dengan warga sekitar/petani.

3. Tindakan Represif dari Aparat Keamanan

Faktor ketiga adalah adanya tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan khususnya kepada masyarakat/petani. Tindakan ini mencerminkan bahwa adanya keberpihakan aparat keamanan terhadap salah satu pihak, dan merugikan pihak lainnya. Padahal aparat sebagai penegak hukum seharusnya berlaku adil dan tidak berpihak pada kelompok tertentu. Hal tersebut sama halnya seperti pada kondisi di masa Orde Baru, dimana aparat hukum dan militer kerap mengintimidasi warga demi kepentingan negara saat itu, karena masa Orde Baru memang bercorak otoritarianisme.

Salah satu contoh tindakan represif aparat adalah peristiwa 10 November 2011 di Mesuji. Saat itu aparat keamanan (Brimob) melakukan tembakan membabi-buta sekitar 15 menit ke arah warga. Peristiwa tersebut menimbulkan 8 orang korban, salah satunya korban tewas bernama Zulaeni yang terkena peluru di kepala. Adanya kekerasan yang dilakukan oleh aparat kemanan menimbulkan pertanyaan bagaimana jalannya supremasi hukum di Indonesia? Peristiwa ini tentunya akan tambah membuat panas konflik, yang tadinya antara petani dengan pengusaha kemudian merambah hingga aspek Negara.

Dari faktor-faktor diatas, terlihat bahwa dalam hal ini konflik agraria di Mesuji dapat dikatakan sebagai sebuah konflik politik. Hal ini dikarenakan yang dipertentangkan adalah menyangkut isu-isu kelompok/publik. Hak tanah diklaim oleh masing-masing pihak yaitu oleh pihak pengusaha dengan petani atas dasar hukum yang mereka pegang masing-masing. Khususnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan memberikan izin usaha dan HGU kepada pengusaha. Dampaknya masyarakat tidak menerima dan akhirnya muncullah konflik akibat perbedaan persepsi dalam peraturan yang dilakukan oleh Pemerintah. Sementara itu jika dikaitkan dengan konsep konflik kelas Marx, penulis berpendapat konflik agraria masih relevan jika dikaitkan dengan konsep teori Marx. Hal ini terlihat dari pihak-pihak yang berselisih yaitu antara kelas Pengusaha dengan kelas Petani (Proletar), selain itu hal yang diperebutkan adalah kekuasaan atas kepemilikan lahan.

Peranan Pemerintah dalam Konflik Agraria di Mesuji

Konflik agraria di Mesuji pada dasarnya merupakan konflik antara perusahaan dengan petani sekitar mengenai hak klaim tanah, namun tidak dapat kita pungkiri peran pemerintah dalam konflik tersebut sangatlah besar. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, konflik agraria berakar dari mas pemerintahan Orde Baru yang cenderung setralistik dan otoriter. Hal tersebut juga terkait pada kepemilikan hak tanah yang dikuasai oleh pemerintah, yang sebelumnya merupakan tanah-tanah adat milik warga sekitar. Tanah tersebut kemudian dijual kepada perusahaan-perusahaan dengan mengeluarkan surat izin dan HGU kepada perusahaan tersebut.

Pemberian izin dan pengeluaran HGU kepada perusahaan inilah yang memicu timbulnya konflik agraria di Mesuji, apalagi masyarakat sekitar tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan negosiasi ganti rugi hak tanah. Sehingga hal ini menimbulkan kemarahan masyarakat daerah tersebut, namun akibat tindakan aparat keamanan yang cukup represif saat itu gejolak-gejolak konflik agraria dapat diredam dan petani pada akhirnya tidak mempunyai keberanian untuk melawannya. Dengan kata lain, pemerintah di masa Orde Baru berlaku tidak adil dalam masalah agraria ini dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang mendukung pihak pengusaha daripada masyarakat kecil di daerah tersebut. Kondisi ini telah berlangsung cukup lama hingga masa reformasi.

Pasca reformasi, konflik agraria justru semakin memanas. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan jatuhnya rezim dan menguatnya kembali demokrasi, mulai terjadi reclaiming atas hak tanah yang sebelumnya telah diambil oleh pengusaha. Konflik ini kadangkala menjadi sebuah konflik yang bersifat kekerasan, salah satu contohnya seperti peristiwa yang terjadi di Mesuji. Munculnya konflik-konflik ini tidak lain adalah masih belum adanya tindakan-tindakan tegas dari pemerintah dalam mengatasi konflik tersebut. Ketidakadilan masih dirasakan khususnya oleh kelompok petani karena belum adanya perundang-undangan yang mengatur mengenai masalah agraria secara tegas.

Ketidakadilan ini terlihat jelas saat terjadi peristiwa penembakan yang dilakukan oleh aparat kemanan terhadap warga di daerah Mesuji Lampung. Tidak tanggung-tanggung hal tersebut membuat beberapa warga kehilangan nyawa mereka karena diberondong peluru aparat kemanan. Tindakan ini merupakan tindakan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat keamanan. Banyak pihak mengecam tindakan tersebut, termasuk dari LSM dan organisasi-organisasi seperti WALHI, LBH, WACANALA dll. Mereka menganggap aparat pemerintah berpihak pada kelompok pengusaha dengan berlaku semena-mena terhadap rakyat kecil.

Fakta-fakta tersebut nampaknya telah menunjukkan absennya negara dalam mengatasi konflik agraria antara petani dengan pengusaha. Sejatinya Pemerintah yang mempunyai otoritas dalam negara ini, mempunyai peran sebagai penengah pihak-pihak yang berkonflik tersebut. Bisa saja kasus Mesuji lainnya dapat meluas sehingga nantinya akan dapat merusak tatanan sosial di dalam masyarakat. Dalam perkembangan terakhir, konflik agraria telah mulai menjadi titik perhatian pemerintah. Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah salah satunya dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta dari DPR, akademisi, maupun LSM yang bertugas untuk meneliti penyebab terjadinya konflik dan juga memberikan rekomendasi-rekomendasi terkait penyelesaian masalah konflik agraria tersebut.

Selain itu, wacana reformasi agraria telah mulai menjadi buah bibir di kalangan pemerintahan khususnya di kalangan legislatif sebagai pembuat Undang-undang. Hal ini terlihat dengan mulai disusunnya RUU mengenai Desa yang salah satu isinya mengatur mengenai status lahan dan pengelolaan sumber daya alam di desa. Adanya RUU mengenai desa ini diharapkan dapat menjawab segala bentuk masalah agraria yang selama ini menjadi sebuah konflik yang tak kunjung usai. Dengan kata lain, peran pemerintah semakin besar khususnya dalam mengatasi masalah-masalah konflik agraria akhir-akhir ini. Salah satu pemicunya adalah adanya kasus penembakan di Mesuji oleh aparat keamanan.

Kesimpulan

Dari penjelasan sebelumnya, dapat disimpulkan dalam kasus konflik agraria di Mesuji merupakan konflik yang terjadi antara dua kelas yaitu kelas Pengusaha (kapitalis) dengan kelas petani memperebutkan lahan/tanah di daerah Mesuji Lampung. Konflik ini juga tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang dilakukan pemerintah di masa orde baru yang cenderung bersifat kapitalistik. Maksudnya, peraturan mengenai penguasaan lahan sangat menguntungkan pihak pengusaha misalnya dalam pemberian izin lokasi dan HGU yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Di sisi lain, hal tersebut menimbulkan kerugian bagi petani/masyarakat sekitar yang bertahun-tahun mendiami daerah tersebut dan telah menganggap tanah tersebut sebagai tanah adat/tanah nenek moyang mereka. Dualisme hukum antara hukum adat dan hukum Nasional juga menjadi salah satu penyebab konflik agraria di Mesuji, karena masing-masing pihak mengklaim lahan tersebut sesuai hukum yang mereka pegang. Namun karena Negara ini merupakan Negara Konstitusional jelas Hukum Nasional lebih didahulukan daripada Hukum Adat.

Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan juga merupakan salah satu pemicu konflik agraria yang lebih besar. Aparat Keamanan dianggap tidak berpihak kepada rakyat dan cenderung menguntungkan pihak pengusaha. Melihat fakta-fakta yang terjadi di Mesuji, dapat disimpulkan Negara bertindak secara tidak adil dengan memihak salah satu kelompok (kelompok pengusaha) dan merugikan masyarakat kecil. Hal tersebut terlihat dari dikeluarkannya peraturan-peraturan terkait izin lokasi dan HGU diatas tanah-tanah warga di Mesuji. Tidak dapat dipungkiri juga, dalam perkembangannya Negara mulai concern terhadap masalah agraria apalagi saat munculnya berita mengenai pembantaian di Mesuji. Salah satu usaha yang dilakukan pemerintah adalah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta untuk meneliti penyebab dan memberikan rekomendasi atas pemecahan masalah agraria di Mesuji. Selain itu, telah mulai dibahas usaha-usaha untuk mereformasi agraria seperti pembahasan RUU mengenai desa yang mengatur juga tentang pengelolaan sumber daya alam di desa.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Astuti, Puji. Kekerasan dalam Konflik Agraria: Kegagalan Negara dalam Menciptakan Keadilan di Bidang Pertanahan. dalam pdf  ( http://ejournal.undip.ac.id/index.php/forum/article/download/3158/2834 )
  2. Rauf, Maswadi. Konsensus Politik: Sebuah Penjajagan Teoritis. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 2000 ; Wirardi, Gunawan. Konflik Agraria. dalam pdf pdf ( http://pustaka-agraria.org/media/download_gallery/_17-10-03_-GWR-Catatan%20Ringkas%20Konflik%20Agraria.pdf 
  3. Raharjanto, Sapto. Tragedi Mesuji dan Absennya Negara, dikutip dari http://www.pdiperjuangan-jatim.org/v03/index.php?mod=berita&id=5119

Tidak ada komentar:

Posting Komentar